Sabtu, 25 Mei 2013

10 Resep Sukses Bangsa Jepang dalam Membangun Ekonomi





1. KERJA KERAS

Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis 1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan "agak memalukan" di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk "yang tidak dibutuhkan" oleh perusahaan.


2. MALU

Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri

(bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi

ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran.

Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke

fenomena "mengundurkan diri" bagi para pejabat

(mentri, politikus, dsb) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal

menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak

SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek

atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang

memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi

di belakangnya dengan memotong jalur di

tengah jalan. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila

mereka melanggar peraturan ataupun norma

yang sudah menjadi kesepakatan umum.


3. HIDUP HEMAT

Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan.Di masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat

terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30.

Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa

supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya

pada waktu sekitar setengah jam sebelum

tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00.

4. LOYALITAS

Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata

dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa,

sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah

pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian

mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core

business) perusahaan.

5. INOVASI

Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model portable sebagai sebuah produk

yang booming selama puluhan tahun adalah Akio


Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda

empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika.

Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah.


6. PANTANG MENYERAH

Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan

pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang

menutup semua akses ke luar negeri,

Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner.

Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang

menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia .

Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana

terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki ,

disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan

adanya gempa bumi besar di Tokyo . Ternyata Jepang tidak

habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen). Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi

kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi

tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete

Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda

dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori

dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai

diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan).

Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh tentang ini

7. BUDAYA BACA

Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta

listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun

dewasa sedang membaca buku atau koran.

Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak

penerbit yang mulai membuat man-ga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA.

Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang

membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya pernah membahas

masalah komik pendidikan di blog ini. Budaya baca

orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan

buku-buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb). Konon kabarnya legenda penerjemahan

buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut

penerjemahan dan terus berkembang sampai jaman modern.

Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam

beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan.

8. KERJASAMA KELOMPOK

Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu

bersifat individualistik.

Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan

tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam

kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa "1 orang professor Jepang akan kalah dengan satu

orang professor Amerika, hanya 10 orang professor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang professor Jepang yang berkelompok" . Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan "rin-gi" adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam

"rin-gi".


9. MANDIRI

Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang

paling gede sempat merasakan masuk TK (Yochien) di Jepang. Dia harus membawa 3 tas besar berisi pakaian ganti, bento (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Yochien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan

bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part time untuk biaya sekolah dan kehidupan

sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka "meminjam" uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.


10. JAGA TRADISI

Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan

tradisi dan budayanya.

Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan

hidup sampai saat ini.

Budaya minta maaf masih menjadi reflek orang Jepang. Kalau suatu hari anda

naik sepeda di Jepang

dan menabrak pejalan kaki , maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah

yang minta maaf duluan.

Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata "tidak" untuk

apabila mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang

Jepang karena "hai" belum

tentu "ya" bagi orang Jepang Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset

penting di Jepang.


Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah

pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang ijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian.

Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar